Di tengah derasnya arus informasi digital, generasi muda Indonesia—terutama Gen Z—mulai menunjukkan ketertarikan terhadap dunia keuangan. Kesadaran ini muncul seiring kebutuhan untuk lebih bijak mengelola pendapatan di tengah tantangan ekonomi yang tak sedikit. Sayangnya, data terbaru justru mengungkapkan bahwa literasi finansial pada generasi ini masih jauh dari ideal.
Menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat literasi keuangan secara nasional memang telah mencapai 65,43%. Namun, di kelompok usia 15–17 tahun—yang didominasi Gen Z—angka ini turun drastis menjadi hanya 51,70%. Artinya, separuh lebih dari anak muda Indonesia belum sepenuhnya memahami cara mengatur keuangan pribadi secara sehat.
Mengapa Gen Z Rentan Masalah Finansial?
Beberapa faktor memengaruhi rendahnya pemahaman keuangan di kalangan Gen Z. Salah satunya adalah peran mereka sebagai generasi sandwich—harus membantu memenuhi kebutuhan keluarga di usia muda, meski masih dalam tahap merintis karier. Hal ini membatasi kemampuan mereka menyisihkan dana untuk tabungan atau investasi.
Selain itu, gaya hidup konsumtif yang diperkuat oleh media sosial juga memberi tekanan tersendiri. Demi menjaga citra di ruang digital, banyak yang rela berutang untuk memenuhi standar gaya hidup tertentu, seperti membeli barang bermerek atau berlibur ke destinasi populer.
Pendapatan yang belum stabil dan dorongan fear of missing out (FOMO) turut memperburuk situasi. Ketika keputusan keuangan diambil secara impulsif, risiko terjerat utang—termasuk melalui pinjaman online—menjadi semakin besar.
Upaya Menuju Kesehatan Finansial
Meski tantangan besar, bukan berarti Gen Z tidak bisa membalikkan keadaan. Edukasi digital kini tersedia luas dan mudah diakses. Dari konten video, podcast, hingga kelas daring, banyak sumber yang bisa membantu anak muda memahami cara mengatur keuangan pribadi dengan lebih baik.
Langkah awal seperti menyiapkan dana darurat setara tiga bulan pengeluaran, menghindari utang konsumtif, dan mulai berinvestasi dengan modal kecil dapat menjadi pondasi kuat. Tak kalah penting, perubahan pola pikir dari FOMO ke joy of missing out (JOMO) juga diperlukan. Fokus pada tujuan finansial jangka panjang akan lebih berdampak daripada mengikuti tren sesaat.
Trading Forex sebagai Alternatif Tambahan Penghasilan
Salah satu instrumen keuangan yang mulai dilirik Gen Z adalah trading forex. Meski berisiko tinggi, aktivitas ini dapat memberikan penghasilan tambahan bila dijalankan secara bertanggung jawab. Kuncinya ada pada pemahaman yang baik dan penggunaan layanan dari broker forex yang resmi dan terdaftar.
Trading bukanlah jalan pintas menuju kekayaan, melainkan aktivitas yang memerlukan strategi dan kedisiplinan. Karena itu, memilih platform yang juga menyediakan edukasi dan informasi pasar menjadi hal krusial. Di sinilah peran broker legal sangat penting—bukan hanya sebagai penyedia layanan, tapi juga sebagai jembatan pembelajaran keuangan yang aman dan sistematis.
Menuju Generasi Finansial Mandiri
Meningkatnya minat Gen Z terhadap instrumen investasi seperti forex bisa menjadi pertanda positif, selama dibarengi dengan peningkatan pengetahuan dan kesadaran risiko. Dengan pendekatan yang benar, generasi ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi digital yang tidak hanya konsumtif, tapi juga cerdas dalam merencanakan masa depan keuangan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa arah literasi finansial di kalangan anak muda mulai bergeser. Tidak lagi sekadar soal belanja dan gaya hidup, tetapi juga tentang kontrol atas keuangan pribadi dan pilihan cerdas untuk jangka panjang.